Sabtu, 06 Oktober 2012

AUTISME

AUTISME

A.    DEFINISI
Autisme berasal dari kata “auto” yang berarti sendiri. Penyandang Autisme akan terlihat seperti hidup dalam dunianya sendiri. Autisme pertama kali ditemukan oleh Kanner pada tahun 1943. Dia mendeskripsikan gangguan ini sebagai ketidakmampuan untuk berinteraksi dengan orang lain, gangguan bahasa yang ditunjukan dengan penguasaan yang tertunda, ecolalia, mutism, membalikan kalimat, adanya aktivitas bermain yang repetitive dan streotipik, rute ingatan yang kuat, dan keinginan obsesif untuk mempertahankan keteraturan di dalam lingkungannya .
Autisme adalah suatu kondisi mengenai seseorang sejak lahir ataupun saat masa balita, yang membuat dirinya tidak dapat membentuk hubungan sosial atau komunikasi yang normal .Dawson mengungkap bahwa Autisme merupakan gangguan perkembangan yang parah yang meliputi ketidakmampuan dalam membangun hubungan sosial, ketidaknrmalan dalam berkomunikasi, dan pola perilaku yang terbatas, berulang-ulang, dan stereotip .
Dari beragam definisi tersebut, dapat diambil sebuah kesimpulan bahwa autisme merupakan gangguan perkembangan yang khususnya terjadi pada masa kanak-kanak yang membuat anak tidak mampu mengadakan interaksi sosial dan seolah-olah hidup dalam dunianya sendiri.

B.    SEBAB-SEBAB
Peningkatan kasus autisme selain karena faktor kondisi rahim seperti terkena virus toksoplasmsis, sitomegalovirus, rubella atau herpes, dan faktor herediter, juga diduga karena pengaruh zat beracun seperti timah hitam (Pb) dari polusi asap pabrik dan knalpot kendaraan, serta kadium (Cd) dari batu baterai . Logam-logam ini menumpuk pada tubuh orang dewasa dan tersalurkan ke bayi melalui ASI. Autisme juga dapat disebabkan oleh antibodi ibu terhadap antigen leukosit anak mereka yang autisme sehingga dapat secara langsung merusak jaringan saraf otak janin.
Widyawati mengemukakan beberapa teori tentang penyebab autisme, yaitu sebagai berikut:


1.    Teori Biologis
Gangguan autisme diyakini sebagai sindrom perilaku yang dapat disebabkan oleh berbagai kondisi yang mempengaruhi sistem saraf pusat. Hal ini diduga karena adanya disfungsi dari batang otak dan mesolimbic. Namun, dari penelitian terakhir ditemukan adanya keterlibatan dari serebelum. Berbagai kondisi biologis yang menjadi penyebab autisme yaitu:
a.    Faktor Genetik; Hasil penelitian terhadap keluarga dan anak kembar menunjukan adanya faktor genetik yang berperan dalam autisme. Pada penelitian terhadap keluarga ditemukan 2,5 – 3 % autisme pada saudara kandung, yang berarti 50 – 100 kali lebih tinggi dibanding populasi normal. Ditemukan juga adanya hubungan antara autisme dengan sindrom fragile-X, yaitu suatu keadaan abnormal dari kromosom X. Diduga, 0 – 20 % sindrom fragile-X pada autisme.
b.    Faktor Pranatal; Hal yang paling sering ditemukan adalah adanya pendarahan setelah trimester pertama dan adanya kotoran janin pada cairan amnion, yang merupakan tanda fetal distress. Penggunaan obat-obatan tertentu pada ibu, adanya komplikasi waktu bersalin, gangguan pernapasan, dan anemia pada janin, juga diduga ada hubungan dengan autisme.
c.    Model Neuroanatomi; ada beberapa daerah diotak anak penyandang autisme yang diduga mengalami disfungsi. Ditemukan adanya kesamaan perilaku autistik dan perilaku abnormal pada orang dewasa yang diketahui mempunyai lesi di otak.

Gambaran struktur otak anak penyandang autisme adalah sebagai berikut:

Dijelaskan oleh Hass dkk. dan Courchesne, pada otak anak autisme ditemukan adanya penurunan jumlah sel Purkinje pada hemisfer sebelum dan vermi. Courchesne dkk. kemudian mengemukakan pendapat bahwa pada saat lahir, bayi autistik memiliki ukuran otak yang normal. Namun setelah mencapai usia dua atau tiga tahun, ukuran otak mereka membesar melebihi normal, terutama pada lobus frontalis dan otak kecil, yang disebabkan oleh pertumbuhan white matter dan gray matter yang berlebihan. Sementara sel saraf yang ada lebih sedikit dibandingkan pada otak normal dan kekuatannya juga lebih lemah. Kondisi inilah yang tampaknya berkaitan dengan gangguan pada perkembangan kognitif, bahasa, emosi dan interaksi sosial.
d.    Hipotesis Neurokemistri; Pada tahun 1961, para peneliti menemukan adanya kenaikan kadar serotonin di dalam darah pada sepertiga anak autisme.
2.    Teori Psikososial
Kanner mempertimbangkan adanya pengaruh psikogenik sebagai penyebab autisme, yaitu orang tua yang emosional, kaku, dan obsesif, yang mengasuh anak mereka dalam suatu atmosfer yang secara emosional kurang hangat, bahkan dingin. Pendapat lain mengemukakan bahwa adanya trauma pada anak disebabkan kekerasan yang tidak disadari oleh ibu, yang sebenarnya tidak menghendaki anak ini. Hal ini mengakibatkan gejala penarikan diri pada anak autisme.
3.    Teori Spiritual
Penyebab autisme berdasarkan Teori Spiritual diungkap oleh Larson (1992) dan beberapa pakar lainnya dalam berbagai penelitian yang berjudul Religious Commitment and Health, menyimpulkan bahwa di dalam memandu kesehatan manusia yang serba kompleks ini dengan segala keterkaitannya, hendaknya komitmen agama sebagai suatu kekuatan (spiritual power) jangan diabaikan begitu saja.Agama dapat berperan sebagai pelindung lebih dari pada sebagai penyebab masalah. Misalnya saja, pergaulan yang terlalu bebas antara laki – laki dan perempuan bisa menyebabkan terjadinya kehamilan yang tidak dikehendaki. Apabila hal ini terjadi, anak yang dikandung biasanya akan digugurkan untuk menjaga nama baik. Pengguguran kandungan dapat dilakukan dengan obat – obatan atau pengobatan alternatif lainnya. Apabila penggugguran kandungan ini gagal, akan berdampak pada mental dan fisik si anak. Anak dapat lahir dengan gangguan mental dan fisik yang parah, misalnya mengalami autisme atau cacat penglihatan, dan dampak buruk lainnya. Untuk itu, agama sebagai dasar spiritual perlu dijadikan pedoman yang kuat dalam bertindak dan berperilaku.


C.    PERSPEKTIF ALIRAN-ALIRAN
1.    Perspektif Psikoanalisis
Teori awal yang menjelaskan autisme dari sudut pandang psikologis adalah teori Refrigerator Mother. Teori ini dikembangkan oleh Bruno Bettelheim, yang berpendapat bahwa autisme disebabkan oleh pengasuhan ibu yang tidak hangat, sehingga anak-anak autistik cenderung menarik diri dan bersibuk diri dengan dunianya. Menurut Margareth Mahler anak-anak autistik mengalami kerusakan yang parah pada egonya karena sejak lahir tidak mampu dan tidak tertarik menjadikan ibu atau orang-orang lain sebagai patner dalam melakukan eksplorasi terhadap dunia luar dan dunia dalamnya. Mereka juga mengalami regresi ke arah tahap kehidupan yang paling primitif serta menutup diri dari kehidupan yang menuntut respon-respon emosional dan sosial .
2.    Perspektif Kognitif
Salah satu teori psikologi mengenai autisme yang paling terkenal dan bertahan sampai saat ini adalah Theory of Mind (ToM) yang dikembangkan oleh Simon Baron-Cohen, Alan Leslie, dan Uta Frith. Berdasarkan pengamatan terhadap anak-anak autistik, mereka menetapkan hipotesis  bahwa tiga kelompok gangguan tingkah laku yang tampak pada mereka (interaksi sosial, komunikasi, dan imajinasi) disebabkan oleh kerusakan pada kemampuan dasar manusia untuk “membaca pikiran”. Anak-anak autistik memiliki kesulitan untuk mengetahui pikiran dan perasaan orang lain yang berakibat  mereka tidak mampu memprediksi tingkah laku orang tersebut .
3.    Perspektif Kognitif-Behavioral
Psikolog O. Ivar Lovaas dkk. menawarkan autisme dari pandangan kognitif-behavioral. Mereka menyatakan bahwa anak-anak autisme memiliki defisit perseptual sehingga mereka hanya dapat memproses satu stimulus saja pada waktu tertentu. Akibatnya, mereka lambat belajar secara classical conditining atau asosiasi terhadap stimuli.
4.    Perspektif Behavioral
Berdasarkan perspektif behavioral, anak-anak menjadi terikat dengan pengasuh utama mereka karena diasosiasikan dengan reinforcer primer seperti makanan dan pelukan. Anak-anak autisme memperhatikan makanan atau pelukan, tetapi tidak menghubungkannya dengan orang tua. Hal ini dapat disebabkan oleh sikap orang tua yang mengambil jarak karena hubungan mereka dengan anak berkali-kali gagal.
5.    Perspektif Humanistik
Abnormalitas dilihat sebagai kegagalan untuk mengembangkan humanitas seseorang secara penuh atau lengkap sebagai adanya blocking atau distorsi kecenderungan-kecenderungan terhadap pertumbuhan dan kepuasan .
6.    Perspektif Psikologi Islami
Dalam perpektif Psikologi Islami, dikatakan bahwa apa yang dilakukan oleh orang tua akan memiliki pengaruh yang sangat signifikan terhadap anaknya. Misalnya, orang tua yang makan banyak obat-obatan dan minum minuman keras dapat menghasilkan anak yang cacat. Cacat ini bisa dalam bentuk fisik seperti perkembangan tubuhnya kurang sempurna, atau bisa juga mental seperti autisme .
 
D.    GEJALA
Tokoh yang sering disebut sebagai peneliti awal mengenai autisme adalah Leo Kanner yang mempublikasikan makalah pertamanya pada tahun 1943 di Amerika Berdasarkan pengamatannya terhadap 11 anak autistik, Kanner menemukan beberapa ciri umum, yaitu: extreme autistic aloneness, keinginan yang obsesif untuk mempertahankan kesamaan, kemampuan menghafal yang luar biasa, dan terbatasnya jenis aktivitas yang dilakukan secara spontan. Pada waktu yang hampir bersamaan, yaitu pada tahun 1944, Hans Asperger mempublikasikan hasil penelitiannya tentang ‘autistic psychopathy’ di Wina .Ia melakukan studi kasus terhadap empat anak yang menunjukkan kesulitan dalam interaksi sosial dan hanya memperlihatkan ekspresi wajah yang terbatas. Ternyata deskripsinya ini mirip dengan yang dikemukakan oleh Kanner dan keduanya juga menggunakan istilah autistic untuk menekankan pada masalah utama anak-anak tersebut, yaitu kecenderungan menarik diri dari lingkungan sosial, kesulitan dalam reaksi afektif, minat yang sempit, dan keterbatasan penggunaan bahasa secara sosial.
Beberapa atau keseluruhan karakteristik yang disebutkan berikut ini dapat diamati pada para penyandang autisme beserta spektrumnya baik dengan kondisi yang teringan hingga terberat sekalipun .
1.    Hambatan dalam komunikasi, misal: berbicara dan memahami bahasa (Babling).
2.    Kesulitan dalam berhubungan dengan orang lain atau obyek di sekitarnya serta menghubungkan peristiwa-peristiwa yang terjadi.
3.    Bermain dengan mainan atau benda-benda lain secara tidak wajar.
4.    Sulit menerima perubahan pada rutinitas dan lingkungan yang dikenali.
5.    Gerakkan tubuh yang berulang-ulang atau adanya pola-pola perilaku yang tertentu.
Terlepas dari berbagai karakteristik di atas, terdapat arahan dan pedoman bagi para orang tua dan para praktisi untuk lebih waspasa dan peduli terhadap gejala-gejala yang terlihat. The National Institute of Child Health and Human Development (NICHD) di Amerika Serikat menyebutkan 5 jenis perilaku yang harus diwaspadai dan perlunya evaluasi lebih lanjut :
1.    Anak tidak bergumam hingga usia 12 bulan.
2.    Anak tidak memperlihatkan kemampuan gestural (menunjuk, dada, menggenggam) hingga usia 12 bulan.
3.    Anak tidak mengucapkan sepatah kata pun hingga usia 16 bulan.
4.    Anak tidak mampu menggunakan dua kalimat secara spontan di usia 24 bulan.
5.    Anak kehilangan kemampuan berbahasa dan interaksi sosial pada usia tertentu.
Adanya kelima ‘lampu merah’ di atas tidak berarti bahwa anak tersebut menyandang autisme tetapi karena karakteristik gangguan autisme yang sangat beragam maka seorang anak harus mendapatkan evaluasi secara multidisipliner yang dapat meliputi; Neurolog, Psikolog, Pediatric, Terapi Wicara, Paedagog dan profesi lainnya yang memahami persoalan autisme .
Seorang anak autisme dapat dilihat perilakunya berdasarkan gambar sebagai berikut:












Gambar diatas menggambarkan perilaku yang dimunculkan anak autis pada umumnya. Pada awal tahun 1970, penelitian tentang ciri – ciri anak autisme berhasil menentukan kriteria diagnosis yang selanjutnya digunakan dalam DSM-III. Gangguan autistik digambarkan sebagai gangguan perkembangan dengan tiga ciri utama, yaitu gangguan pada interaksi sosial, gangguan pada komunikasi, dan keterbatasan minat serta kemampuan imajinasi.
Kriteria diagnosis untuk autisme dijelaskan lebih lanjut dalam DSM-IV TR yang secara singkat disebutkan sebagai berikut:
1.    Gangguan kualitatif dalam interaksi sosial timbal balik:
a.    Gangguan yang nyata dalam berbagai tingkah laku non verbal seperti kontak mata, ekspresi wajah, dan posisi tubuh;
b.    Kegagalan dalam mengembangkan hubungan dengan teman sebaya sesuai dengan tingkat perkembangan;
c.    Kurangnya spontanitas dalam berbagi kesenangan, minat atau prestasi dengan orang lain; dan
d.    Kurang mampu melakukan hubungan sosial atau emosional timbal balik.
2.    Gangguan kualitatif dalam komunikasi:
a.    Keterlambatan perkembangan bahasa atau tidak bicara sama sekali;
b.    Pada individu yang mampu berbicara, terdapat gangguan pada kemampuan memulai atau mempertahankan percakapan dengan orang lain;
c.    Penggunaan bahasa yang stereotip, repetitif atau sulit dimengerti; dan
d.    Kurangnya kemampuan bermain pura-pura.
3.    Pola-pola repetitif dan stereotip yang kaku pada tingkah laku, minat dan aktivitas:
a.    Preokupasi pada satu pola minat atau lebih;
b.    Infleksibilitas pada rutinitas atau ritual yang spesifik dan non fungsional;
c.    Gerakan motor yang stereotip dan repetitif; dan
d.    Preokupasi yang menetap pada bagian-bagian obyek.
Seorang anak dapat didiagnosis memiliki gangguan autistik bila simtom – simtom di atas telah tampak sebelum anak mencapai usia 36 bulan.


E.    ONSET
Anak dengan autisme dapat tampak normal di tahun pertama maupun tahun kedua dalam kehidupannya. Secara umum, gejala autisme akan tampak semakin jelas saat anak memasuki usia 3 tahun.
Ada sebagian anak, tanda dan gejala itu sudah ada sejak lahir. Seorang ibu yang sangat cermat memantau perkembangan anaknya bisa melihat beberapa keganjilan sebelum anaknya mencapai 1 tahun .Yang sangat menonjol adalah tidak adanya bahasa atau sangat kurangnya tatap mata. Para orang tua seringkali menyadari adanya keterlambatan kemampuan berbahasa dan cara-cara tertentu yang berbeda ketika bermain serta berinteraksi dengan orang lain.

F.    PREVALENSI
Diperkirakan terdapat 400.000 individu dengan autisme di Amerika Serikat. Sejak tahun 1980, bayi-bayi yang lahir di California, Amerika Serikat, diambil darahnya dan disimpan di pusat penelitian Autisme. Penelitian dilakukan oleh Terry Phillips, seorang pakar kedokteran saraf dari Universitas George Washington. Dari 250 contoh darah yang diambil, ternyata hasilnya mencengangkan; seperempat dari anak-anak tersebut menunjukkan gejala autis
Penelitian Frombonne (Study Frombonne: 2003) menghasilkan prevalensi dari autisme beserta spektrumnya (Autism Spectrum Disorder/ASD) adalah: 60/10.000 dan terdapat 425.000 penyandang ASD yang berusia dibawah 18 tahun di Amerika Serikat. Di Inggris, data terbaru adalah: 62.6/10.000 ASD.
Autisme secara umum telah diketahui terjadi empat kali lebih sering pada anak laki-laki dibandingkan yang terjadi pada anak perempuan. Hingga saat ini penyebabnya belum diketahui secara pasti . Saat ini para ahli terus mengembangkan penelitian mereka untuk mengetahui sebabnya sehingga mereka pun dapat menemukan ‘obat’ yang tepat untuk mengatasi fenomena ini. Bidang-bidang yang menjadi fokus utama dalam penelitian para ahli, meliputi; kerusakan secara neurologis dan ketidakseimbangan dalam otak yang bersifat biokimia . Di Indonesia, belum ditemukan data yang akurat mengenai keadaan yang sesungguhnya di Indonesia, namun dalam suatu wawancara di Koran Kompas; Dr. Melly Budhiman, seorang Psikiater Anak dan Ketua dari Yayasan Autisme Indonesia menyebutkan adanya peningkatan yang luar biasa. Bila sepuluh tahun yang lalu jumlah penyandang autisme diperkirakan satu per 5.000 anak, sekarang meningkat menjadi satu per 500 anak (Harian Kompas, 2000). Tahun 2000 yang lalu, Dr. Ika Widyawati; staf bagian Psikiatri Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia memperkirakan terdapat kurang lebih 6.900 anak penyandang autisme di Indonesia. Jumlah tersebut menurutnya setiap tahun terus meningkat .


G.    TERAPI
Bila ada pertanyaan mengenai terapi apa yang efektif bagi anak penderita autisme, maka jawabannya sangat kompleks, bahkan para orang tua dari anak-anak dengan autisme pun merasa bingung ketika dihadapkan dengan banyaknya treatment dan proses pendidikan yang ditawarkan bagi anak mereka. Beberapa jenis terapi bersifat tradisional dan telah teruji dari waktu ke waktu sementara terapi lainnya mungkin baru saja muncul. Tidak seperti gangguan perkembangan lainnya, tidak banyak petunjuk treatment yang telah dipublikasikan apalagi prosedur yang standar dalam menangani autisme. Bagaimanapun juga para ahli sependapat bahwa terapi harus dimulai sejak awal dan harus diarahkan pada hambatan maupun keterlambatan yang secara umum dimiliki oleh setiap anak autis, misalnya; komunikasi dan persoalan-persolan perilaku. Treatment yang komprehensif umumnya meliputi; Terapi Wicara (Speech Therapy), Okupasi Terapi (Occupational Therapy) dan Applied Behavior Analisis (ABA) untuk mengubah serta memodifikasi perilaku .
Dalam salah satu jurnal disebutkan bahwa saudara sekandung memberikan pengaruh dalam pemberian terapi bagi anak autis. Peran saudara sekandung dari anak autis akan menunjang keberhasilan terapi bagi saudara autisnya, apabila mereka berperan secara aktif dan berkesinambungan dalam memberikan terapi bagi saudara autis mereka. Peran saudara sekandung dalam membantu anak autis menguasai keterampilan-keterampilan tertentu tidak hanya pada saat pemberian terapi di rumah, namun lebih besar apabila dilakukan di dalam kegiatan sehari-hari ketika mereka saling berinteraksi .
Jurnal lainnya menyebutkan bahwa art therapy juga dapat berperan dalam terapi untuk anak autisme. Penggunaan ekspresi nonverbal melalui pengalaman dalam seni membuat mereka mengekspresikan gambar mewakili pengalaman mereka. Anak-anak menciptakan karya seni karena berakar pada kebutuhan untuk berhubungan dengan dunia mereka. Art therapy ini membantu mereka meningkatkan kesadaran mereka. Seni untuk anak-anak akan selalu membuktikan untuk menjadi proses evolusi yang mengarah ke tahap berikutnya. Art Therapy untuk anak autistik dapat menjadi suatu kegiatan yang penting berbasis intervensi untuk mendorong pertumbuhan mereka.
Sangat disayangkan masih minim data ilmiah yang mampu mendukung berbagai jenis terapi yang dapat dipilih orang tua di Indonesia saat ini. Fakta menyebutkan bahwa sangat sulit membuat suatu penelitian mengenai autisme. Sangat banyak variabel-variabel yang dimiliki anak, dari tingkat keparahan gangguannya hingga lingkungan sekitarnya dan belum lagi etika yang ada didalamnya untuk membuat suatu penelitian itu sungguh-sungguh terkontrol. Sangat tidak mungkin mengkontrol semua variabel yang ada sehingga data yang dihasilkan dari penelitian-penelitian sebelumnya mungkin secara statistik tidak akurat .
Keberhasilan dalam melakukan terapi pada anak autis tentu saja dipengaruhi oleh banyak hal. Beberapa hal yang mempengaruhi keberhasilan terapi meliputi berat ringannya gejala, usia, kecerdasan, kemampuan berbicara dan berbahasa, dan terapi yang intensif dan terpadu. Beberapa terapi yang harus dijalankan secara terpadu mencakup terapi medikamentosa, terapi wicara, terapi okupasi, terapi perilaku dan pendidikan khusus. Terapi formal dilakukan antara 4-8 jam sehari. Seluruh keluarga harus terlibat untuk memacu komunikasi dengan anak sejak anak bangun tidur pagi hingga mau tidur malam (Budhiman, 1998; dalam Ambarini, 2006). Dawson dan Osterling (1997, dalam Ambarini, 2006) mengidentifikasikan 6 faktor yang mempengaruhi keberhasilan terapi pada anak autis, yaitu: isi kurikulum, lingkungan pengajaran yang sangat mendukung, dampak pada rutinitas, yaitu bagaimana pengaruh terapi yang dilakukan terhadap kegiatan yang dilakukan sehari-hari, pendekatan fungsional pada perilaku yang bermasalah dan keterlibatan orang tua dalam terapi.
Berdasarkan sejumlah faktor yang mempengaruhi keberhasilan terapi tersebut, faktor peran keluarga sangatlah berpengaruh. Pemilihan terapi yang dianggap tepat ditunjang dengan terapis yang terlatih, tidak membuat peran keluarga berkurang dalam mendorong keberhasilan terapi yang dilakukan. Usaha dari orang tua dan keluarga untuk terus menerus melakukan pendampingan pada anak sangat diperlukan, sehingga mereka terlibat secara langsung dalam proses terapi anak. Orang tua sangat menentukan perkembangan anak dalam setiap aspek. Pengasuhan sehari-hari sangat memegang peranan penting pada perkembangan anak autis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar